27 Januari, 2009

Brownies "AMANDA" Bandung



BROWNIES KUKUS AMANDA

disebut oleh-oleh paling megang’ dari Bandung. Kue cokelat ini sejak beberapa tahun terakhir memang sangat ngetop. Rasanya, pulang dari Bandung tanpa brownies ini, seperti ada yang kurang. Siapa sangka, ketika memulai usaha dulu, kios brow­nies ini sempat terkena gusur.


KREATIFITAS MODIFIKASI RESEP

Kesuksesan brownies kukus Amanda ini mengagumkan. Bayangkan, dalam satu hari, lebih dari 1.000 loyang kue habis diserbu pembeli. Siapa menyangka, kue lezat ini merupakan hasil kreasi seorang ibu rumah tangga yang memodifikasi resep kue bolu kukus.

Berawal dari ketidakpuasan mencoba resep bolu kukus dari seo­rang adiknya, Hj. Sumiwiludjeng (67), pada akhir 1999, mulai mengutak-utik resep itu untuk mendapatkan rasa yang lebih enak. Bagi indra pengecap Sumi, lulusan Tata Boga IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta), rasa bolu cokelat itu kurang nendang’.

Memasak memang bukan sekadar hobi bagi Sumi. Istri pensiunan pegawai PT Pos Indonesia ini sejak dulu memanfaatkan kepandaian­nya memasak untuk menambah pemasukan keluarga, H. Sjukur Bc.AP (69). Sumi, dibantu putra sulungnya, Joko Ervianto (41), menerima pesanan kue dan makanan untuk arisan hingga pesta perkawinan. Namun, usaha ini masih bersifat industri rumahan.

“Ketika akhirnya menemukan formula yang pas untuk bolu ku­kus cokelat itu, katering kami mulai menawarkan kue itu kepada pelanggan,” tutur Atin Djukarniatin (41), istri Joko, yang ikut serta membesarkan toko kue ini.

Menurut Atin, ketika ditawarkan kepada konsumen katering­nya, kue cokelat itu langsung jadi favorit. Rupanya, tekstur lem­but dan paduan rasa cokelat yang mantap, membuat kue ini gampang disukai. “Banyak orang yang kemudian mulai memesan kue, yang dulu hanya disebut kue bolu cokelat saja,” tutur Atin. Joko, yang melihat potensi pasar kue itu, mengeluarkan kue tersebut dari daftar salah satu menu dalam katering, menjadi produk yang berdiri sendiri. “Akhirnya, agar lebih dikenal orang, kami men­cari nama jenis kue yang baru ini. Lalu, tercetuslah nama brownies kukus,” ujar Atin.

Mengapa brownies kukus? Menurut Atin, karena tekstur kue dan warnanya yang cokelat pekat ini mirip tekstur kue brownies. Selain itu, nama brownies kukus lebih mengena di telinga calon konsu­men sehingga mereka penasaran mencicipinya.

Setelah mendapatkan nama brownies kukus, awal tahun 2000 Joko dan Atin membuka sebuah kios kaki lima di kompleks pertokoan Metro, Margahayu, Bandung, untuk menjualnya. Meski disukai kon­sumen katering, ketika pertama kali ‘dijual bebas’, brownies kukus itu kurang menarik minat pembeli.”Orang yang lewat memang meno­leh dan penasaran dengan nama brownies kukus, namun tidak banyak yang membelinya,” ujar Atin.

Tak kurang akal, Atin lalu menjual kue itu dalam bentuk kue po­tong seharga Rp1.000 per potong. Dengan cara ini, ternyata bisa laku 150-250 potong atau 3-5 loyang ukuran 24 x 24 cm. Sayangnya, usaha yang baru berkembang ini tak bisa bertahan, karena pertokoan Metro terbakar.Akibatnya, kios brownies kukus pun ikut tergusur dan pindah ke J1. Tata Surya 11, yang masih terletak di kompleks yang sama. Anehnya, pindah lokasi di perumahan bukannya meredupkan rezeki, malah menjadi titik terang bisnis brownies kukus ini. Di sini, keuntungannya justru berlipat ganda.


BISNIS KEROYOKAN KELUARGA

Sukses menggaet pelanggan baru membuat Joko berpikir untuk memberi brand agar lebih komersial. “Kami lalu terpikir meng­hidupkan kembali CV (commanditaire vennootschap) Amanda, per­usahaan yang pernah dimiliki Ibu, ketika masih memiliki usaha kantin dan salon potong rambut,” tutur Atin. Tahun 2001, kue itu punya nama resmi, yaitu Brownies Kukus Amanda. Dalarn terminolo­gi Sumi, Amanda adalah akronim dari Anak Mantu Damai atau anak dan menantu harus selalu hidup rukun dan damai.

Joko, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung, juga menaruh nama Brownies Kukus Amanda pada kardus pembungkus, agar lebih profesional. Setelah itu, hanya mela­lui promosi darn mulut ke mulut, pamor kue ini melesat. Pembeli berdatangan dan rela antre, terutama menjelang Lebaran. Minat pembeli ini membuat mereka kewalahan. Maklum, mereka hanya menuliki 3 kompor yang masing-masing untuk mengu­kus satu loyang. Akhirnya, Joko bereksperimen. Dengan bantuan seorang tukang, is mendesain kukusan yang memuat 6 loyang untuk satu kali mengukus. Kocokan adonan pun dibuat khusus, sehingga bisa mengocok untuk 6 resep sekaligus.

Tahun 2002, mereka pindah ke Jl. Rancabolang No.2 di kawasan yang sama, karena toko yang lama sudah terasa sesak. “Toko yang sekaligus rumah produksi itu hanya berupa bangunan tripleks seluas 4×6 meter,” ujar Ann. Pada periode ini, Brownies Kukus Amanda sudah tenar sebagai oleh-oleh bagi warga Bandung yang hendak bepergian ke luar kota.

“Kami benar-benar stres karena tidak mampu memenuhi per­mintaan pembeli. Tidak jarang kami harus menghadapi kemarahan dan caci-maki calon pembeli, yang sudah jauh jauhdatang, tetapi tidak kebagian kue,” tutur Atin.

Masalah itu lagi-lagi diselesaikan Joko dengan mendesain kocokan untuk 20 resep dan kukusan superbesar yang bisa memuat 50 loyang. Tak lama kemudian, Joko juga berhasil mendesain kocokan untuk 300 resep. Setelah itu, permintaan akan Brownies Kukus Amanda jadi tidak terbendung lagi. Tak hanya di Bandung, namanya pun tenar jauh ke luar kota. Kue ini seolah menjadi oleh-oleh wajib bagi orang­orang yang berkunjung ke Bandung. Dalam sehari, meski mengaku tidak mengetahui jumlah pastinya, Atin menyebut angka seribu lebih kue habis terjual. Karyawannya pun kini sudah mencapai 200 orang.

Selain sukses mendongkrak penjualan, cita-cita Sumi yang tersu­rat dalam nama Amanda juga terkabul. Semua anak dan menantu pasangan Sumi dan Sjukur ikut mengelola bisnis ini dan semuanya hidup rukun. Joko yang menjabat sebagai direktur utama, meminta adik-adiknya, Andi Darmansyah dan Sugeng Cahyono, me­ngelola 4 cabang resmi yang ada di Bandung, yaitu di jl. Cikawao, Antapani, Hyper Square Pasir Kaliki, dan toko mobil di JI. Dago. “Hanya adik ipar saya yang bungsu, Rizka, masih belum tertarik terjun dalam bisnis ini,” ujar Atin.

Awal tahun 2004, pusat toko mereka pindah ke bangunan perma­nen dua lantai dan berhalaman lapang yang megah di JI Rancabolang No 29, Margahayu, Bandung. Andi dan Sugeng juga ditarik ke kantor pusat untuk memegang jabatan sebagai direktur keuangan dan direktur operasional. Sementara itu, pabrik pembuatan Brownies Kukus Amanda tetap di JI. Rancabolang 2. Tahun ini pun Amanda akan membuka cabang barn di Surabaya dan Bogor.


SUDAH DIPATENKAN

Walaupun awalnya hanya industri kecil dengan skala rumahan, Brow­nies Kukus Amanda kini dikelola dengan prinsip manajemen modern. Setidaknya, itu terlihat pada upaya untuk membuat pengembangan produk, antara lain adanya 4 rasa barn untuk mendampingi brownies kukus rasa orisinal, yaitu cheese cream, blueberry, tiramisu, dan choco mar­ble sebagai topping. Karena hanya topping, rasa kue orisinal tetap bisa dinikmati pada lapisan bawahnya. Harga Brownies Kukus Amanda kini antara Rp19.500 hingga Rp29.000.

Pengembangan rasa baru ini, kata Atin, sebagai upaya untuk pe­nyegaran dan memberi rasa alternatif pada pelanggan. Empat rasa itu didapat CV Amanda sebagai hasil kerja sama dengan Akademi Pariwisata NHI (National Hotel Institute) Bandung. Meski begitu, Sumi masih menjadi konsultan untuk soal kelayakan rasa barn itu, sebelum dilempar ke pasaran.

Brownies Kukus Amanda ini sudah dipatenkan, \.meski Atin mengakui, soal hak paten di Indonesia masih belum punya `gigi’. Atin melihat, banyak pengekor kesuksesan Amanda ramai-ramai mengeluarkan produk bernama brownies kukus.

Hal lain yang membuat manajemen Amanda gemas adalah banyaknya penjual Brownies Kukus Amanda ‘liar’ di pinggir jalan seantero Bandung. “Memang, mereka membeli putus dari kami untuk dijual lagi. Tapi, kami tetap dirugikan, karena tidak bisa mengontrol kualitasnya,” ujar Atin. Ia bercerita, pihaknya sering menerima pengaduan konsumen, yang mendapatkan kue tidak layak makan.”Karena itu, kami mengimbau agar membeli di toko resmi saja,

Untuk mengatasi hal tersebut, CV Amanda kembali meminta polisi untuk melakukan razia.Ternyata, hanya berhenti sementara. Setelah itu, penjual pinggir jalan itu kembali lagi. “Kami pun akhirnya menyerah. Anggap saja kami berbagi rezeki dengan orang lain,” kata Atin, tersenyum.


Sumber : www.resep.web.id


0 komentar: